Minggu, 10 April 2016

Peraturan Pemerintah Terkait K3 Konstruksi

Dalam Undang-undang No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, Penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi diatur dalam pasal 23 dan 24. Dalam Pasal 23 ayat 2 dinyatakan bahwa penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang :
1.      Keteknikan
2.      Keamanan
3.      Keselamatan dan Kesehatan Kerja
4.      Perlindungan Tenaga Kerja
5.      Tata Lingkungan Setempat
Kewajiban memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut berlaku bagi pengguna jasa maupun penyedia jasa pada setiap tahap penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Ketentuan Lebih lanjut tentang penyelenggaraan pekerjaan konstruksi diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah terkait Penerapan K3 konstruksi diantarnya adalah :
  • Peraturan pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun2010 dan diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
  • Peraturan pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi
  • Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kecelakaan Kerja.


Diagram Peraturan Pemerintah Terkait K3 Konstruksi



A. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Ketentuan mengenai pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012. Untuk dapat memahami peraturan ini harus dicermati sebab terbitnya peraturan ini atau pertimbangan yang menjadi alasan terbitnya peraturan ini. Pada bagian Pembukaan dinyatakan bahwa pertimbangan terbitnya peraturan ini adalah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 87 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Selain itu, pada pasal 1 dinyatakan bahwa Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. Dengan demikian peraturan ini merupakan turunan atau pelaksanaan dari UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang bersifat umum dan berlaku untuk semua sektor pekerjaan dimana terjadi hubungan kerja.

Pada penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi hubungan kerja terdiri dari Hubungan Industrial antara Pengguna Jasa (SKPD/Satker/Unit Kerja, dsb) dengan Penyedia Jasa , dan hubungan kerja antara Penyedia Jasa dengan Pelaksana Pekerjaan (Tenaga Ahli, pekerja, mandor dsb). Hubungan industrial, yaitu suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

Ketentuan tentang SMK3 dalam PP No 50 tahun 2012 adalah Setiap perusahaan wajib menerapkan SMK3 di perusahaannya. Pengertian perusahaan adalah (a) setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. (b) usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Hal ini berarti, Pengguna Jasa termasuk kategori perusahaan, karena merupakan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan lain, dan wajib menerapkan SMK3 diperusahaannya. Hal yang sama berlaku bagi penyedia jasa.

Parameter yang menjadi ukuran kewajiban menerapkan SMK3 adalah (a) mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 (seratus) orang; atau (b) mempunyai tingkat potensi bahaya tinggi. Didalam penjelasan PP tersebut dinyatakan bahwa Yang dimaksud dengan “tingkat potensi bahaya tinggi” adalah perusahaan yang memiliki potensi bahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan yang merugikan jiwa manusia, terganggunya proses produksi dan pencemaran lingkungan kerja. Ketentuan ini tidak menjelaskan/mengatur batasan waktu yang harus dipenuhi pada ketentuan “bagi perusahaan mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 (seratus) orang”. Artinya, “mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 (seratus) orang” dapat terjadi pada tahap awal pekerjaan, Tahap pertengahan pekerjaan, atau Tahap akhir pekerjaan. Ketentuan ini juga tidak mengatur jumlah unit kerja.

Tujuan penerapan SMK3 diantaranya adalah mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Mencegah kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dapat dilakukan dengan telaah kemungkinan-kemungkinan yang potensial terjadi, diantaranya adalah bertambahnya jumlah unit kerja yang diikuti dengan bertambahnya pekerja. Dalam konteks usaha jasa konstruksi, bertambahnya unit kerja setara dengan jumlah paket pekerjaan yang dikerjakan pada waktu bersamaan sehingga jumlah pekerja yang dipekerjakan oleh sebuah perusahaan dapat lebih dari 100 (seratus) orang. Dengan Ketentuan Kemampuan menangani paket pekerjaan minimal 5 (lima), maka potensial perusahaan mempekerjakan lebih dari 100 (seratus) orang pekerja termasuk tenaga administrasi dan tenaga operasional kantor. Selain itu tujuan penerapan SMK3 adalah untuk menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman, dan efisien untuk mendorong produktivitas. Baik atau tidaknya Produktivitas dapat dilihat dari sisi pengguna hasil (konsumen) maupun pengelola usaha (perusahaan). Dalam terminologi usaha jasa konstruksi, produktivitas dapat dilihat dari sisi Pengguna Jasa atau dari sisi penyedia jasa. Untuk mendorong produktivitas yang baik khususnya dari sisi pengguna, penerapan SMK3 merupakan salah satu syarat yang layak untuk dipenuhi.

B.    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi stdtd Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2010 stdtd Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2015

Peraturan ini merupakan pengaturan lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi terutama mengenai tertib pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas dan peningkatan peran masyarakat. Pada Peraturan ini dinyatakan bahwa penyedia jasa dalam pemilihan penyedia jasa berkewajiban untuk menyusun  dokumen  penawaran  yang  memuat  rencana  dan  metode  kerja, rencana  usulan  biaya,  tenaga  terampil  dan  tenaga ahli, rencana dan anggaran keselamatan dan kesehatan kerja, dan peralatan

Untuk menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, penyelenggara pekerjaan konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang: (a) keteknikan,  meliputi  persyaratan  keselamatan  umum,  konstruksi bangunan,  mutu  hasil  pekerjaan,  mutu  bahan  dan  atau  komponen  bangunan,  dan  mutu  peralatan  sesuai  dengan  standar  atau  norma  yang  berlaku;  (b)   keamanan,  keselamatan,  dan  kesehatan  tempat  kerja  konstruksi  sesuai  dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;  (c) perlindungan  sosial  tenaga  kerja  dalam  pelaksanaan  pekerjaan  konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Ketentuan  pembinaan  dan  pengendalian  tentang  keselamatan  dan  kesehatan kerja  di  tempat  kegiatan  konstruksi  diatur  lebih  lanjut  oleh  Menteri  bersama Menteri teknis yang terkait. Ketentuan ini tidak termasuk keselamatan dan kesehatan kerja di bidang tertentu yang secara khusus telah diatur dalam peraturan perundangundangan tersendiri.

C.     Peraturan pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi

Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan ketentuan dalam pasal 35 UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, yaitu pembinaan baik terhadap penyedia jasa, pengguna jasa, maupun masyarakat guna menumbuhkan pemahaman dan kesadaran akan tugas dan fungsi serta hak dan kewajiban masing-masing dan meningkatkan kemampuan dalam mewujudkan tertib usaha jasa konstruksi, tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dan tertib pemanfaatan hasil pekerjaan konstruksi. Ketentuan tentang keselamatan dan kesehatan kerja mengacu pada peraturan perundang-undangan yang mengatur keselamatan dan kesehatan kerja.


Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan hak dan kewajiban pengguna jasa dan penyedia jasa. Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi meliputi pengaturan, pemberdayaan dan pengawasan. Bentuk pengawasan sebagai bagian dari penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi dilakukan guna tertib usaha, tertib penyelenggaraan, tertib pemanfaatan jasa konstruksi diantaranya mengenai ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar