Senin, 25 April 2016

PENERAPAN SMK3 KONSTRUKSI

Sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan kerja konstruksi (SMK3K) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem manajemen perusahaan jasa konstruksi. Sistem ini dijalankan secara bersamaan dengan pengendalian produktifitas dan efisiensi pada pengelolaan perusahaan. Sistem ini berjalan secara simultan antara satu sub sistem (satu paket pekerjaan) dengan sub sistem yang lain (paket pekerjaan lainnya). Hal ini dimungkinkan mengingat Perusahaan Jasa Konstruksi dapat mengerjakan lebih dari satu Paket Pekerjaan. Semakin banyak paket pekerjaan yang dilaksanakan, akan semakin banyak sub sistem yang berperan dalam sistem manajamen perusahaan.
Dalam Sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan kerja konstruksi (SMK3K) proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran secara efektif dan efesien. Proses tersebut ditujukan pada elemen-elemen pembentuk sistem, yaitu :
a. Kebijakan K3;
b. Perencanaan K3;
c. Pengendalian Operasional;
d. Pemeriksaan dan Evaluasi Kinerja K3; dan
e. Tinjauan Ulang Kinerja K3
(Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 5/PRT/M/2014 tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (SMK3) Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum)

Untuk memahami penerapan Sistem Manajemen K3 Konstruksi, harus dimulai dengan memahami definisi/istilah atau terminologi tentang komponen pokok Sistem Manajemen K3 Konstruksi. Pengertian Sistem Manajemen K3 berdasarkan PP No 50 Tahun 2012 adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. Dengan demikian terdapat beberapa pokok pikiran tentang SMK3, yaitu bagian dari sistem manajemen perusahaan (subsistem), pengendalian resiko pada kegiatan kerja, pengendalian resiko pada tempat kerja, dan menciptakan tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat K3 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Pokok pikiran yang terkandung dalam K3 adalah menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja, melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja, upaya pencegahan kecelakaan kerja, dan upaya pencegahan penyakit akibat kerja.

Setara dengan pokok pikiran dalam PP No 50 Tahun 2012, pokok pikiran pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 5/PRT/M/2014 dibuat spesifik yaitu pekerjaan konstruksi. Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup bangunan gedung, bangunan sipil, instalasi mekanikal dan elektrikal serta jasa pelaksanaan lainnya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan pengertian Bidang Pekerjaan Umum adalah bidang pekerjaan yang meliputi kegiatan pekerjaan Sumber Daya Air (bendung, pintu air dan hidromekanik, terowongan air, bangunan sungai, jaringan irigasi, bangunan lepas pantai), Bina Marga (jalan,Jembatan, jalan layang, terowongan jalan, saluran tepi jalan, bahu jalan, trotoar)  dan Cipta Karya (bangunan gedung, perumahan, infrastruktur kawasan permukiman seperti Instalasi Pengolahan Air Minum (IPAM), sistem perpipaan air minum dan lain-lain). (Permen PU No 11/PRT/M/2013 ttg Pedoman Analisis Harga Satuan Pekerjaan Bidang Pekerjaan Umum)

SMK3 Konstruksi diterapkan padaTahapan sebagai berikut :
      a.       Tahap Pra Konstruksi
Tahap pra Konstruksi terdiri dari 3 (tiga) macam pekerjaan, yaitu Tahapan Rancangan Konseptual, Tahapan Penyusunan DED (Detailed Engineering Design), Tahapan Penyusunan Dokumen Pemilihan Penyedia Barang/jasa. Dari ketiga tahapan pra konstruksi, tahap Penyusunan Dokumen Pemilihan Penyedia Barang/Jasa merupakan pintu masuk pertama dalam penerapan K3. Penyusunan dokumen Pemilihan Penyedia Barang/jasa pelaksana Rancangan dan/atau Perencana (Penyusunan DED) wajib mensyaratkan aspek K3, sehingga produk dari Tahap Rancangan dan/atau Perencanaan (Penyusunan DED) sudah memuat telaahan K3, Identifikasi Bahaya, Penilaian Risiko, Skala Prioritas, Pengendalian Risiko, dan biaya K3. Oleh karena itu, dalam setiap pekerjaan perencanaan harus memuat syarat adanya ahli K3 agar produk perencanaan sudah memuat aspek K3.

Dalam Kaitannya dengan penerapan SMK3 Konstruksi, Tugas Penyedia Jasa Pekerjaan Pra Konstruksi seperti Studi Kelayakan, Studi Identifikasi dan desain, dsb adalah mengidentifikasi dan menganalisis Tingkat Risiko K3 dari kegiatan/proyek yang akan dilaksanakan. Dokumen hasil identifikasi dan analisis ini merupakan dasar bagi pengguna jasa Pelaksana Pekerjaan Konstruksi untuk menyusun potensi bahaya, jenis bahaya dan identifikasi bahaya K3 Konstruksi yang selanjutnya menjadi salah satu syarat teknis penyedia jasa pelaksana pekerjaan konstruksi. Dengan demikian, Tugas dan Tanggung Jawab Penyedia Jasa Perencana Konstruksi meliputi membuat telaahan aspek K3 dalam perencanaan pekerjaan Konstruksi.

Berdasarkan uraian diatas, diketahui bahwa Tugas dan Tanggung Jawab Penyedia Jasa Perencana Konstruksi meliputi membuat telaahan aspek K3 dalam perencanaan pekerjaan Konstruksi. Implikasinya adalah Penyedia Jasa Perencana Konstruksi harus memiliki Ahli K3 Konstruksi yang memiliki tugas dan tanggung jawab melakukan mengidentifikasi dan menganalisis Tingkat Risiko K3 dari kegiatan/proyek yang akan dilaksanakan termasuk biaya Penyelenggaraan K3 Konstruksi.

       b.      Tahap Pemilihan Penyedia Barang/Jasa (Procurement)
Pada Tahap Pemilihan Penyedia Barang/Jasa atau Tahap pelelangan, dokumen Pemilihan Penyedia Barang/Jasa harus memuat persyaratan K3 Konstruksi yang merupakan bagian dari ketentuan persyaratan teknis dan memuat ketentuan tentang kriteria evaluasi RK3K. Untuk pekerjaan dengan potensi bahaya tinggi, wajib dipersyaratkan rekrutmen Ahli K3 Konstruksi dan dapat dipersyaratkan sertifikat SMK3 perusahaan. Artinya, persyaratan rekrutmen Ahli K3 Konstruksi sudah menunjukkan bahwa pekerjaan yang dimaksud memiliki potensi Bahaya Tinggi atau hasil dari pekerjaan yang dimaksud digunakan untuk pekerjaan yang memiliki potensi Bahaya Tinggi, sedangkan persyaratan Petugas K3 menunjukkan bahwa pekerjaan yang sedang atau akan dilelangkan memiliki potensi bahaya rendah. Demikian juga dengan persyaratan Sertifikat SMK3 atau yang setara seperti OHSAS 18001, mengindikasikan bahwa pekerjaan memiliki potensi bahaya tinggi.

Rencana Keselamatan dan Kesehatan kerja Konstruksi disusun oleh penyedia jasa yang merupakan bagian dari dokumen teknis dalam dokumen penawaran. Pada Pekerjaan Jasa Konsultansi, RK3K merupakan bagian dari usulan teknis dan dapat dijadikan lampiran pada dokumen teknis. Sedangkan pada pekerjaan Jasa pelaksana konstruksi RK3K merupakan dokumen teknis yang merupakan bagian dari dokumen penawaran.

Biaya penerapan K3 konstruksi dihitung berdasarkan kebutuhan seluruh pengendalian resiko K3 Konstruksi. Biaya penyelenggaraan SMK3 konstruksi dialokasikan dalam biaya umum atau overhead yang merupakan komponen penyusun HPS. Biaya penyelenggaraan SMK3 konstruksi meliputi :
a. Penyiapan RK3K;
b. Sosialisasi dan promosi K3;
c. Alat pelindung kerja;
d. Alat pelindung diri;
e. Asuransi dan perijinan;
f. Personil K3;
g. Fasilitas sarana kesehatan;
h. Rambu-rambu; dan
i. Lain-lain terkait pengendalian risiko K3.

Dalam Permen PU No 11/PRT/M/2013 tentang Pedoman Analisis Harga Satuan Pekerjaan Bidang Pekerjaan Umum, Bagian 3 : Analisis Harga Satuan Pekerjaan Bidang Bina Marga, biaya penyelenggaraan SMK3 dapat ditetapkan sebagai satu Mata Pembayaran Pekerjaan, yaitu pada Divisi 1, seksi 1.19 Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

      c.       Tahap Pelaksanaan Konstruksi
Pada tahap awal Pelaksanaan konstruksi dilakukan presentasi RK3K, telaah, dan pengesahan RK3K yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen kontrak konstruksi dan menjadi acuan penerapan dan acuan evaluasi kinerja SMK3 Konstruksi . Presentasi dan telaah RK3K Konstruksi dilaksanakan pada rapat persiapan pelaksanaan pekerjaan konstruksi / Pre Construction meeting (PCM) oleh penyedia jasa untuk selanjutnya direvisi dan disahkan dan diandatangani oleh PPK. Sebagai bagian dari kontrak, apabila terjadi perubahan dan/atau pekerjaan tambah/kurang, maka RK3K harus ditinjau ulang dan dilakukan penyesuaian mengikuti perubahan dan/atau pekerjaan tambah/kurang kontrak kerja konstruksi.

Pada Tahap pelaksanaan Konstruksi, penyedia jasa wajib mengikutsertakan pekerjanya dalam program perlindungan tenaga kerja selama kegiatan pekerjaan konstruksi. Program perlindungan tenaga kerja sekurang-kurangnya program Jaminan Kecelakaan Kerja dan jaminan kematian sebagaimana diatur dalam PP No 44 Tahun 2015.

Program pengendalian resiko K3 Konstruksi dilakukan secar terus-menerus untuk mencapai Kebijakan dan Tujuan SMK3 Konstruksi. Pengendalian resiko K3 Konstruksi dilakukan dengan cara melakukan inspeksi terhadap tempat kerja, Peralatan Kerja, cara kerja, alat pelindung Kerja, alat pelindung diri, rambu-rambu, dan lingkungan kerja konstruksi.

Hasil pelaksanaan RK3K didokumentasikan oleh penyedia jasa dan menjadi bagian dari laporan pelaksanaan pekerjaan yang dibuat secara berkala sesuai dengan ketentuan pelaporan pelaksanaan pekerjaan. Laporan pelaksanaan RK3K memuat dokumentasi kejadian kecelakaan kerja dan lampiran arsip laporan-laporan yang wajib dilakukan oleh penyedia jasa sesuai ketentuan peraturan yang berlaku. Selain itu, laporan pelaksanaan K3 memuat hasil evaluasi kinerja RK3K, perbaikan dan peningkatan kinerja RK3K dalam rangka menjamun kesesuaian dan efektifitas penerapan RK3K.

       d.      Tahap Penyerahan Hasil Akhir Pekerjaan.
Pelaksanaan pekerjaan Konstruksi dimulai dengan Pre Construction meeting (PCM) dan diakhir dengan serah terima Pekerjaan atau Provision Hand Order (PHO). Pada tahap serah terima pekerjaan dilakukan uji coba dan laik fungsi sistem atau bangunan. Penerapan K3 Konstruksi pada tahap ini, selain disusun prosedur penerapan K3 pada pekerjaan uji coba dan laik fungsi juga disusun laporan hasil akhir penerapan K3 untuk memastikan bahwa RK3K yang disepakati sudah dilaksanakan dengan baik. Laporan Akhir hasil Penerapan K3 hasil kinerja SMK3, statistik kecelakaan dan penyakit akibat kerja, laporan-laporan kejadian kecelakaan kerja, dan usulan perbaikan SMK3 untuk proyek sejenis yang akan datang. Laporan ini merupakan bagian harus harus dipenuhi dalam persyaratan serah terima pekerjaan.


Sabtu, 16 April 2016

PERENCANAAN K3

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. Tujuan dari sistem manajemen K3 adalah pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja. Pengendalian resiko dilakukan dengan cara peningkatan efektifitas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang terencana, terukur, terstruktur, dan terintegrasi. Efektifitas perlindungan dilakukan dengan tindakan pencegahan dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja menggunakan parameter yang terukur. Kegiatan kerja dimulai dari perencanaan, pengadaan, pelaksanaan, dan pengakhiran. Sedangkan sasaran dari SMK3 adalah terciptnya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.

Sebagai sebuah sistem, SMK3 terdiri dari beberapa subsistem yang masing-masing subsistem memiliki fungsi dan peranan yang saling bersinergi satu sama lain dalam mencapai tujuan dan sasaran dari sistem. Sebagai sistem manajamen, SMK3 merupakan sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya (susbsistem) untuk mencapai sasaran (goals) K3 secara efektif dan efesien. Dalam PP No. 50 Tahun 2012 tentang SMK3 Proses Perencanaan K3 meliputi :
  • Hasil penelaahan awal;
  • Identifikasi potensi bahaya, penilaian, dan pengendalian risiko;
  • Peraturan perundang-undangan dan persyaratan lainnya; dan
  • Sumber daya yang dimiliki.

Hasil proses perencanaan K3 dituangkan dalam rencana Pelaksanaan K3 Rencana K3 memuat :
  •          Tujuan dan sasaran;
  •          Skala prioritas;
  •          Upaya pengendalian bahaya;
  •          Penetapan sumber daya;
  •          Jangka waktu pelaksanaan;
  •          Indikator pencapaian; dan
  •          Sistem pertanggungjawaban.

·          
Proses Perencanaan SMK3 pada Pekerjaan Konstruksi mengikuti alur sebagaimana berlaku pada perencanaan SMK3 menurut PP No 50.

1.   Hasil Penelaahan Awal
Penelaahan awal merupakan Tahapan telaah terhadap substansi pekerjaan dan lokasi pekerjaan. Substansi pekerjaan terdapat pada Daftar Kuantitas dan Harga atau Bill of Quantity. Daftar Kuantitas merupakan uraian Item-item pekerjaan yang harus/akan dilaksanakaan pada pekerjaan konstruksi. Kompilasi dari daftar kuantitas biasanya dituangkan dalam harga satuan pekerjaan. Harga ini merupakan hasil dari Analisa Harga Satuan Dasar dan sudah memperhitungkan Komponen Biaya Umum termasuk K3.

Telaah awal dilakukan terhadap Volume pekerjaan karena volume pekerjaan yang besar memiliki tingkat kekerapan yang besar. Penelaahan peralatan yang digunakan dilakukan untuk menentukan resiko kecelakaan pada penggunaan alat, menentukan prosedur dan instruksi kerja. Telaah awal dilakukan juga untuk menggabungkan pekerjaan-pekerjaan sejenis karena perbedaan ukuran bahan, seperti pada pekerjaan Galian, pekerjaan lapis pondasi agregat A atau B, pemasangan Keramik, pengecatan dinding; mereduksi pekerjaan dengan tingkat kesulitan rendah, seperti pemasangan kunci slot dan engsel dan lain-lain.

Telaah awal terhadap Lokasi Pekerjaan berkaitan dengan ruang mobilitas, baik mobilitas Pekerja, alat, pengunjung, maupun ruang-pindah material. Selain berkaitan dengan mobilitas, aspek lokasi berkaitan dengan lingkungan sekitar lokasi pekerjaan seperti aspek sosial seperti pemukiman, aspek fisik seperti sifat geologi tanah, morofologi tanah, aspek lalu lintas seperti kepadatan trafik, aspek fisika seperti suhu, kelembaban, aspek kimia seperti debu atau polutan udara, dan sebagainya. Faktor masa bangunan akan berpengaruhi terhadap tingkat resiko kecelakaan, apakah satu bangunan sejenis atau banyak seperti perumahan, jalan lingkungan, atau banyak bangunan dengan fungsi bangunan yang berbeda-beda yang terletak pada area yang sama atau berbeda. Penelaahan awal dilakukan juga terhadap korelasi antara Uraian Pekerjaan, Tenaga Ahli, dan Kondisi Lokasi Pekerjaan. Telaah terhadap korelasi ini dilakukan karena akan mempengaruhi tahapan pelaksanaan pekerjaan dan pemilihan metode kerja yang sesuai untuk memperkecil kecil resiko kecelakaan kerja.

2.   Identifikasi potensi bahaya, penilaian, dan pengendalian risiko
Identifikasi bahaya dilaksanakan guna menentukan rencana penerapan K3 di Lokasi Pekerjaan. Proses identifikasi dilakukan terhadap sumber-sumber bahaya yang meliputi bahan/material, peralatan, sifat Pekerjaan, pekerja dan lingkungan kerja. Identifikasi bahaya dilakukan dengan memperhatikan faktor rutinitas, beban kerja, ruang gerak atau ruang pindah bahan, peralatan dan pekerja: Penilaian resiko menggunakan pendekatan metode matriks resiko yang sederhana serta mudah digunakan, diterapkan dan menyajikan representasi visual di dalamnya.
Bentuk pengendalian risiko menggunakan hirarki pengendalian risiko sebagai berikut :
  •             Eliminasi adalah mendesain ulang pekerjaan atau mengganti material/ bahan sehingga bahaya dapat dihilangkan atau dieliminasi.
  •            Substitusi adalah mengganti dengan metode yang lebih aman dan/ atau material yang tingkat bahayanya lebih rendah.
  •            Rekayasa teknik adalah melakukan modifikasi teknologi atau peralatan guna menghindari terjadinya kecelakaan.
  •            Administrasi adalah pengendalian melalui pelaksanaan prosedur untuk bekerja secara aman.
  •            APD adalah alat pelindung diri yang memenuhi standard dan harus dipakai oleh pekerja pada semua pekerjaan sesuai dengan jenis pekerjaannya.





Selasa, 12 April 2016

Peraturan Menteri Terkait K3 Konstruksi

Penyelenggaraan Jasa Konstruksi melibatkan pengguna Jasa, Penyedia Jasa, dan Pelaksana Pekerjaan konstruksi. Hubungan kerja antara penyedia jasa dengan Pelaksana Pekerjaan merupakan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Pada hubungan kerja berlaku UU Nomor 13 Tahun 2003, PP No 50 tahun 2012, dan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. Sedangkan pada Hubungan kerja antara pengguna jasa disatu pihak, dengan Penyedia jasa dan Pelaksana pekerjaan, dipihak lain, pada penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi, berlaku ketentuan UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan peraturan turunannya, baik berupa Peraturan Pemerintah maupun Peraturan menteri Teknis Terkait. Dalam hubungannya dengan Sistem Manajemen K3, peraturan pemerintah yang merupakan turunan dari UU Nomor 18 Tahun 1999, yaitu PP No 29 Tahun 2000 dan PP No. 30 Tahun 2000, sedangkan PP No 28 Tahun 2000 tidak terkait langsung dengan SMK3 karena hanya membahas aspek badan Usaha dan Lembaga.




Peraturan Menteri terkait dengan SMK3 Konstruksi antara lain

1.  Peraturan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI  No. PER.01/MEN/1980 tentang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Pada Konstruksi Bangunan
Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari Undang-undang  nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja, yang memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai keselamatan dan kesehatan kerja pada pekerjaan Konstruksi Bangunan. Peraturan menteri ini menekankan pada pencegahan kecelakaan dan pembentukan unit keselamatan dan kesehatan kerja. Pengaturan mengenai perlatan merupakan bagian yang dominan pada peraturan ini. Untuk pekerjaan konstruksi peraturan lebih ditekankan pada alat (peralatan) kerja, seperti excavator, buldoser dan sebagainya. Peraturan ini lebih mengatur masalah teknis dibandingkan dengan masalah manajemen Keselamatan dan Kesehatan kerja. Peraturan ini merupakan petunjuk umum berlakunya Buku Pedoman Pelaksanaan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum RI No 174 Tahun 1986 No 104/KPTS/1986 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi.

2.    Peraturan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI  No. PER.15/MEN/VIII/2008 tentang Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan Di Tempat Kerja
Peraturan ini merupakan pelaksanaan Pasal 3 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja perlu menetapkan ketentuan mengenai pertolongan pertama pada kecelakaan di tempat kerja. Pada peraturan ini ditegaskan bahwa pengusaha wajib menyediakan petugas P3K dan Fasilitas P3K di tempat kerja. Pengurus atau pemimpin langsung suatu tempat kerja wajib melaksanakan P3K di tempat Kerja.

Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan di tempat kerja selanjutnya disebut dengan P3K di tempat kerja, adalah upaya memberikan pertolongan pertama secara cepat dan tepat kepada pekerja/buruh dan/atau orang lain yang berada di tempat kerja, yang mengalami sakit atau cidera di tempat kerja. Peraturan ini merupakan petunjuk teknis penyelenggaraan sitem P3K pada tempat kerja.

3.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI  No PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri
Peraturan ini merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 3, Pasal 4 ayat (1), Pasal 9, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja perlu diatur mengenai alat pelindung diri. Alat Pelindung Diri selanjutnya disingkat APD adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja, yang meliputi :
·         pelindung kepala;
·         pelindung mata dan muka;
·         pelindung telinga;
·         pelindung pernapasan beserta perlengkapannya;
·         pelindung tangan; dan/atau
·         pelindung kaki.
·         pakaian pelindung;
·         alat pelindung jatuh perorangan; dan/atau
·         pelampung.

Pengusaha wajib menyediakan APD bagi pekerja/buruh di tempat kerja dan melaksanakan manajemen APD di tempat kerja.  
  
4. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 07/PRT/M/2011 Tahun 2011 stdtd Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 31/PRT/M/2015 Tahun 2015 Tentang Standar Dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Dan Jasa Konsultansi.
Peraturan ini merupakan petunjuk teknis pengadaan pekerjaan konstruksi dan jasa konsultansi di bidang pekerjaan umum. Tujuan dari peraturan ini adalah untuk memenuhi tata nilai pengadaan yang kompetitif yang sangat diperlukan bagi ketersediaan infrastruktur yang berkualitas sehingga akan berdampak pada peningkatan pelayanan publik.

Peraturan ini terdiri dari 2 bagian, yaitu batang tubuh Peraturan dan Lampiran. Ketentuan mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi terdapat pada pasal 6e batang tubuh peraturan, sebagai berikut :
1. Identifikasi bahaya dan tingkat risiko K3 pada pekerjaan yang dapat timbul dalam pelaksanaan harus dicantumkan dalam dokumen pengadaan pekerjaan konstruksi.
2. Evaluasi teknis Rencana Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi (RK3K) dilakukan terhadap sasaran dan program K3 untuk pengendalian risiko bahaya K3.
Pada Lampiran Buku Pedoman Pekerjaan Konstruksi, terdapat klausul bahwa dalam hal pekerjaan kompleks/bersifat kompleks dapat mempersyaratkan memiliki Sertifikat Manajemen Mutu perusahaan (SNI/ISO 9001), memiliki Sertifikat Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) (misal : OHSAS 18000) dan/atau Sertifikat Manajemen Lingkungan (misal : 14001). Sedangkan pada lampiran-lainnya dilampirkan Format/Bentuk RK3K dan Tabel Identifikasi bahaya yang dibuat oleh pengguna Jasa.

5. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11/PRT/M/2013 Tahun 2013 tentang Pedoman Analisis Harga Satuan Pekerjaan Bidang Pekerjaan Umum.
Peraturan ini merupakan suatu pedoman analisis harga satuan pekerjaan sebagai alat untuk menghitung harga satuan dasar upah, alat dan bahan yang selanjutnya menghasilkan Harga Satuan Pekerjaan. Dalam Peraturan ini dijelaskan pengertian tentang :
·      Bidang Pekerjaan Umum adalah bidang pekerjaan yang meliputi kegiatan pekerjaan Sumber Daya Air (bendung, pintu air dan hidromekanik, terowongan air, bangunan sungai, jaringan irigasi, bangunan lepas pantai), Bina Marga (jalan, jembatan, jalan layang, terowongan jalan, saluran tepi jalan, bahu jalan, trotoar), dan Cipta Karya (bangunan gedung, perumahan, infrastruktur kawasan permukiman seperti Instalasi Pengolahan Air Minum (IPAM), sistem perpipaan air minum dan lain-lain).
·      Harga Perkiraan Sendiri yang selanjutnya disingkat HPS adalah perhitungan perkiraan biaya pekerjaan yang dihitung secara profesional oleh panitia dan disahkan oleh pejabat pembuat komitmen yang digunakan sebagai salah satu acuan dalam melakukan evaluasi harga penawaran. HPS bersifat terbuka dan tidak rahasia.
·      Overhead adalah biaya yang diperhitungkan sebagai biaya operasional dan pengeluaran biaya kantor pusat yang bukan dari biaya pengadaan untuk setiap mata pembayaran, biaya manajemen, akuntansi, pelatihan dan auditing, perizinan, registrasi, biaya iklan, humas dan promosi dan lain sebagainya.

Analisa Harga Satuan Pekerjaan terdiri dari biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung terdiri dari Tenaga Kerja, Bahan, dan Alat. Sedangkan biaya tidak langsung terdiri dari biaya umum dan keuntungan. Lihat Gambar 1 – Struktur analisis Harga Satuan Pekerjaan (HSP) pada peraturan tersebut.
Biaya umum adalah biaya tidak langsung yang dikeluarkan untuk mendukung terwujudnya pekerjaan (kegiatan pekerjaan) yang bersangkutan, atau biaya yang diperhitungkan sebagai biaya operasional meliputi pengeluaran untuk:
·      Biaya kantor pusat yang bukan dari biaya pengadaan untuk setiap mata pembayaran
·      Biaya upah pegawai kantor lapangan
·      Biaya manajemen (bunga bank, jaminan bank, tender, dll)
·      Biaya akuntansi
·      Biaya pelatihan dan auditing
·      Biaya perizinan dan registrasi
·      Biaya iklan, humas dan promosi
·      Biaya penyusutan peralatan penunjang
·      Biaya kantor, listrik, telepon dll
·      Biaya pengobatan pegawai kantor/lapangan
·      Biaya travel, pertemuan/rapat
·      Biaya asuransi di luar peralatan
·      Dan lain sebagainya

Biaya umum/overhead ini dihitung berdasarkan persentase dari biaya langsung yang besarnya tergantung dari lama waktu pelaksanaan pekerjaan, besarnya tingkat bunga yang berlaku dan lain sebagainya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Keuntungan ini sudah termasuk biaya resiko pekerjaan selama pelaksanaan dan masa pemeliharaan dalam kontrak pekerjaan.
Besarnya biaya umum dan keuntungan ditentukan dengan mempertimbangkan antara lain tingkat suku bunga pinjaman bank yang berlaku, tingkat inflasi, overheadkantor pusat dan lapangan, resiko investasi. Ini merupakan domain penyedia jasa yang sampai dengan saat ini belum ada ketentuan resmi dari Pemerintah yang mengatur nilai maksimum biaya umum dan keuntungan penyedia jasa.

HPS disusun dengan memperhitungkan keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar. Pada Penjelasan Perpres No 54 Tahun 2010 stdtd Perpres no 4 Tahun 2015, pasal 66 dinyatakan bahwa Contoh keuntungan dan biaya Overhead yang wajar untuk Pekerjaan Konstruksi maksimal 15% (lima belasperseratus).  Biaya overhead dalam penjelasan pasal tersebut meliputi antara lain biaya keselamatan dan kesehatan kerja, keuntungan, dan beban pajak.

6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2014 Tahun 2014 tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselatan dan Kesehatan Kerja.

Tujuan diberlakukannya Peraturan Menteri ini agar SMK3 konstruksi Bidang PU dapat diterapkan secara konsisten untuk:
·      meningkatkan efektifitas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang terencana, terukur, terstruktur dan terintegrasi;
·      dapat mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja;
·      menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman dan efisien, untuk mendorong produktifitas

Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi:
·      Penerapan SMK3 Konstruksi Bidang PU;
·      Tugas, Tanggung Jawab dan Wewenang; dan
·      Biaya Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang PU.
Setiap penyelenggaraan pekerjaan konstruksi bidang Pekerjaan Umum wajib menerapkan SMK3 Konstruksi Bidang PU. Penerapan SMK3 Konstruksi Bidang PU ditetapkan berdasarkan potensi bahaya, dengan ketentuan sebagai berikut :.
a.    Potensi bahaya tinggi, apabila pekerjaan bersifat berbahaya dan/atau mempekerjakan tenaga kerja paling sedikit 100 orang dan/atau nilai kontrak diatas Rp. 100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah) dan Wajib melibatkan Ahli K3 Konstruksi
b.    Potensi bahaya rendah, apabila pekerjaan bersifat tidak berbahaya dan/atau mempekerjakan tenaga kerja kurang dari 100 orang dan/atau nilai kontrak dibawah Rp. 100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah) dan Wajib melibatkan Petugas K3 Konstruksi
Penerapan SMK3 Pekerjaan Konstruksi dilaksanakan pada Tahap pra konstruksi, tahap Pemilihan Penyedia Barang/Jasa, Tahap Pelaksanaan pekerjaan Konstruksi, Tahap Penyerahan Hasil Akhir Pekerjaan. Dokumen perencanaan, Dokumen Pengadaan Barang/jasa, dokumen kontrak, dan Laporan Penyerahan Hasil Akhir Pekerjaan wajib memuat Dokumen K3 sesuai tahapannya. .

Biaya penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang PU dialokasikan dalam biaya umum yang mencakup:
·      Penyiapan RK3K;
·      Sosialisasi dan promosi K3;
·      Alat pelindung kerja;
·      Alat pelindung diri;
·      Asuransi dan perijinan;
·      Personil K3;
·      Fasilitas sarana kesehatan;
·      Rambu-rambu; dan
·      Lain-lain terkait pengendalian risiko K3.
Rencana biaya penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang PU menjadi bagian dari RK3K, yang disepakati dan disetujui pada saat rapat persiapan pelaksanaan pekerjaan konstruksi (Pre Construction Meeting).

Peraturan ini mencabut dan menyatakan tidak berlaku peraturan menteri Pekerjaan Umum Nomor 09/PRT/M/2008 tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum.

7.    Peraturan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI  No. 26 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Penilaian Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja khususnya bab III Penilaian. Peraturan ini merupakan pedoman penilaian Efektivitas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja melalui penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Penilaian Penerapan SMK3 yang selanjutnya disebut Audit SMK3 ialah pemeriksaan secara sistematis dan independen terhadap pemenuhan kriteria yang telah ditetapkan untuk mengukur suatu hasil kegiatan yang telah direncanakan dan dilaksanakan dalam penerapan SMK3 di perusahaan. Pada Peraturan ini ditegaskan lagi bahwa Setiap perusahaan wajib menerapkan SMK3 yang terintegrasi dengan sistem di perusahaan.
Perturan ini mencabut dan menyatakan tidak berlaku :
1.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
2.      Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.18/MEN/XI/2008 tentang Penyelenggara Audit Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
3.     Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.19/MEN/1997 tentang Pelaksanaan Audit Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Peraturan Lain terkait K3 Konstruksi diantaranya adalah
a.   Peraturan Presiden nomor 54 Tahun 2010 stdtd nomor 4 tahun 2015 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
b.  Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum RI No 174 Tahun 1986 No 104/KPTS/1986 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi
c.  Kepmenaker RI No 51 Tahun 1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja
d.    Surat Edaran Dirjen Binawas Depnakertrans No. 05/Bw/1997 tentang Penggunaan Alat Pelindung Dirl
e.    ILO Convention No. 81 Concerning Labour Inspection In Industry And Commerce (Konvensi ILO No. 81 Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam Industri Dan Perdagangan yang diratifikasi dengan Undang-undang Republik Indonesia nomor 21 tahun 2003)
Konvensi ini mengatur tentang penegakan hukum mengenai mengenai kondisi kerja dan perlindungantenaga kerja dan peraturan yang menyangkut waktu kerja, pengupahan, keselamatan, kesehatan serta kesejahteraan, tenaga kerja anak serta orang muda dan masalah-masalah lain yang terkait
f.          Klausul-klausul OHSAS 18001

Penutup


Penerapan SMK3 Konstruksi merupakan kewajiban yang tidak dapat diabaikan dalam penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi. Pandangan atau alasan tidak mewajibkan RK3K pada Tahap Pemilihan Penyedia Barang/Jasa karena belum adanya komponen biaya untuk pelaksanan SMK3 seperti terjadi pada pelelangan Penambahan Ruang Dinas SDA & Pemukiman Provinsi Banten merupakan kelalaian atau KECELAKAAN dalam penyelenggaraan pekerjaan kontruksi bidang pekerjaan umum. 

Minggu, 10 April 2016

Peraturan Pemerintah Terkait K3 Konstruksi

Dalam Undang-undang No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, Penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi diatur dalam pasal 23 dan 24. Dalam Pasal 23 ayat 2 dinyatakan bahwa penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang :
1.      Keteknikan
2.      Keamanan
3.      Keselamatan dan Kesehatan Kerja
4.      Perlindungan Tenaga Kerja
5.      Tata Lingkungan Setempat
Kewajiban memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut berlaku bagi pengguna jasa maupun penyedia jasa pada setiap tahap penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Ketentuan Lebih lanjut tentang penyelenggaraan pekerjaan konstruksi diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah terkait Penerapan K3 konstruksi diantarnya adalah :
  • Peraturan pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun2010 dan diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
  • Peraturan pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi
  • Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kecelakaan Kerja.


Diagram Peraturan Pemerintah Terkait K3 Konstruksi



A. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Ketentuan mengenai pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012. Untuk dapat memahami peraturan ini harus dicermati sebab terbitnya peraturan ini atau pertimbangan yang menjadi alasan terbitnya peraturan ini. Pada bagian Pembukaan dinyatakan bahwa pertimbangan terbitnya peraturan ini adalah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 87 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Selain itu, pada pasal 1 dinyatakan bahwa Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. Dengan demikian peraturan ini merupakan turunan atau pelaksanaan dari UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang bersifat umum dan berlaku untuk semua sektor pekerjaan dimana terjadi hubungan kerja.

Pada penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi hubungan kerja terdiri dari Hubungan Industrial antara Pengguna Jasa (SKPD/Satker/Unit Kerja, dsb) dengan Penyedia Jasa , dan hubungan kerja antara Penyedia Jasa dengan Pelaksana Pekerjaan (Tenaga Ahli, pekerja, mandor dsb). Hubungan industrial, yaitu suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

Ketentuan tentang SMK3 dalam PP No 50 tahun 2012 adalah Setiap perusahaan wajib menerapkan SMK3 di perusahaannya. Pengertian perusahaan adalah (a) setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. (b) usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Hal ini berarti, Pengguna Jasa termasuk kategori perusahaan, karena merupakan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan lain, dan wajib menerapkan SMK3 diperusahaannya. Hal yang sama berlaku bagi penyedia jasa.

Parameter yang menjadi ukuran kewajiban menerapkan SMK3 adalah (a) mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 (seratus) orang; atau (b) mempunyai tingkat potensi bahaya tinggi. Didalam penjelasan PP tersebut dinyatakan bahwa Yang dimaksud dengan “tingkat potensi bahaya tinggi” adalah perusahaan yang memiliki potensi bahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan yang merugikan jiwa manusia, terganggunya proses produksi dan pencemaran lingkungan kerja. Ketentuan ini tidak menjelaskan/mengatur batasan waktu yang harus dipenuhi pada ketentuan “bagi perusahaan mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 (seratus) orang”. Artinya, “mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 (seratus) orang” dapat terjadi pada tahap awal pekerjaan, Tahap pertengahan pekerjaan, atau Tahap akhir pekerjaan. Ketentuan ini juga tidak mengatur jumlah unit kerja.

Tujuan penerapan SMK3 diantaranya adalah mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Mencegah kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dapat dilakukan dengan telaah kemungkinan-kemungkinan yang potensial terjadi, diantaranya adalah bertambahnya jumlah unit kerja yang diikuti dengan bertambahnya pekerja. Dalam konteks usaha jasa konstruksi, bertambahnya unit kerja setara dengan jumlah paket pekerjaan yang dikerjakan pada waktu bersamaan sehingga jumlah pekerja yang dipekerjakan oleh sebuah perusahaan dapat lebih dari 100 (seratus) orang. Dengan Ketentuan Kemampuan menangani paket pekerjaan minimal 5 (lima), maka potensial perusahaan mempekerjakan lebih dari 100 (seratus) orang pekerja termasuk tenaga administrasi dan tenaga operasional kantor. Selain itu tujuan penerapan SMK3 adalah untuk menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman, dan efisien untuk mendorong produktivitas. Baik atau tidaknya Produktivitas dapat dilihat dari sisi pengguna hasil (konsumen) maupun pengelola usaha (perusahaan). Dalam terminologi usaha jasa konstruksi, produktivitas dapat dilihat dari sisi Pengguna Jasa atau dari sisi penyedia jasa. Untuk mendorong produktivitas yang baik khususnya dari sisi pengguna, penerapan SMK3 merupakan salah satu syarat yang layak untuk dipenuhi.

B.    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi stdtd Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2010 stdtd Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2015

Peraturan ini merupakan pengaturan lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi terutama mengenai tertib pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas dan peningkatan peran masyarakat. Pada Peraturan ini dinyatakan bahwa penyedia jasa dalam pemilihan penyedia jasa berkewajiban untuk menyusun  dokumen  penawaran  yang  memuat  rencana  dan  metode  kerja, rencana  usulan  biaya,  tenaga  terampil  dan  tenaga ahli, rencana dan anggaran keselamatan dan kesehatan kerja, dan peralatan

Untuk menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, penyelenggara pekerjaan konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang: (a) keteknikan,  meliputi  persyaratan  keselamatan  umum,  konstruksi bangunan,  mutu  hasil  pekerjaan,  mutu  bahan  dan  atau  komponen  bangunan,  dan  mutu  peralatan  sesuai  dengan  standar  atau  norma  yang  berlaku;  (b)   keamanan,  keselamatan,  dan  kesehatan  tempat  kerja  konstruksi  sesuai  dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;  (c) perlindungan  sosial  tenaga  kerja  dalam  pelaksanaan  pekerjaan  konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Ketentuan  pembinaan  dan  pengendalian  tentang  keselamatan  dan  kesehatan kerja  di  tempat  kegiatan  konstruksi  diatur  lebih  lanjut  oleh  Menteri  bersama Menteri teknis yang terkait. Ketentuan ini tidak termasuk keselamatan dan kesehatan kerja di bidang tertentu yang secara khusus telah diatur dalam peraturan perundangundangan tersendiri.

C.     Peraturan pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi

Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan ketentuan dalam pasal 35 UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, yaitu pembinaan baik terhadap penyedia jasa, pengguna jasa, maupun masyarakat guna menumbuhkan pemahaman dan kesadaran akan tugas dan fungsi serta hak dan kewajiban masing-masing dan meningkatkan kemampuan dalam mewujudkan tertib usaha jasa konstruksi, tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dan tertib pemanfaatan hasil pekerjaan konstruksi. Ketentuan tentang keselamatan dan kesehatan kerja mengacu pada peraturan perundang-undangan yang mengatur keselamatan dan kesehatan kerja.


Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan hak dan kewajiban pengguna jasa dan penyedia jasa. Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi meliputi pengaturan, pemberdayaan dan pengawasan. Bentuk pengawasan sebagai bagian dari penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi dilakukan guna tertib usaha, tertib penyelenggaraan, tertib pemanfaatan jasa konstruksi diantaranya mengenai ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja.